Tour Religi Seru di Sembalun: Antara Keheningan Alam dan Kedamaian Hati

Tour Religi Seru di Sembalun: Antara Keheningan Alam dan Kedamaian Hati

Saya masih ingat jelas udara dingin pagi itu di Sembalun. Kabut tipis menggantung di ladang bawang dan kaki Gunung Rinjani terlihat anggun dari kejauhan. Tapi perjalanan saya ke sini bukan hanya tentang keindahan alamnya, melainkan tentang perjalanan batin yang perlahan membuka hati.

Sembalun, bagi banyak orang, dikenal sebagai salah satu pintu masuk menuju Rinjani. Namun di balik itu, daerah ini juga menyimpan banyak titik religi yang menyentuh. Mulai dari makam para wali, masjid tua bersejarah, hingga tempat-tempat sunyi yang cocok untuk refleksi diri.

Tour religi ke Sembalun bukan hanya tentang tempat, tapi tentang rasa. Dan rasa itu akan kamu temukan saat benar-benar membuka hati selama perjalanan.

Perjalanan Menuju Sembalun: Serunya Melewati Lembah dan Bukit

Kami memulai perjalanan dari Mataram sekitar pukul 6 pagi. Udara masih sejuk, jalanan pun belum ramai. Beruntung, saya menggunakan sewa mobil di Lombok dengan sopir yang sudah hafal rute dan tahu spot-spot terbaik sepanjang jalan.

Bukan hanya sekadar mengantar, sopir kami sekaligus jadi teman ngobrol. Ia menceritakan kisah-kisah lokal, legenda Sembalun, dan sejarah tokoh agama yang pernah menyebarkan Islam di kawasan timur Lombok ini.

Perjalanan naik turun bukit yang berkelok-kelok terasa lebih ringan saat dibumbui cerita-cerita yang kaya makna.

Masjid Kuno di Sembalun: Sakral, Tenang, dan Menyejukkan

Destinasi pertama kami adalah masjid tua yang berdiri di antara pemukiman warga. Masjid ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu, dibangun dari kayu dan beratap ijuk.

Begitu masuk, suasananya berbeda. Tenang sekali. Tidak ada suara bising, hanya bisikan angin dan langkah kaki yang pelan.

Saya duduk di pojok masjid, menatap ukiran-ukiran kayu yang sederhana tapi dalam. Di sinilah, menurut cerita sopir kami, para ulama dulu berdakwah dan mengajarkan Islam secara damai.

Ziarah ke Makam Wali Sembalun

Tujuan berikutnya adalah makam seorang tokoh penyebar Islam di Sembalun yang dikenal sebagai TGH. Abdul Karim. Letaknya di atas bukit kecil yang harus ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 15 menit.

Sepanjang jalan, kami melewati kebun dan ladang warga. Udaranya segar, dan pemandangan dari atas benar-benar memanjakan mata.

Sesampainya di makam, kami membaca doa dan duduk sejenak. Entah kenapa, suasananya terasa khusyuk. Angin berembus pelan, dan dedaunan seolah ikut berzikir.

Saya merasa ini bukan sekadar tempat ziarah. Tapi tempat untuk menenangkan hati.

Berdoa di Ketinggian Bukit Selong

Setelah ziarah, kami naik ke Bukit Selong. Tempat ini sebenarnya lebih dikenal sebagai spot foto, tapi bagi saya, ini tempat yang pas untuk merenung.

Duduk di atas bukit sambil memandang petak-petak sawah di bawah, saya menarik napas panjang.

Kadang, kita butuh naik lebih tinggi untuk melihat hidup dari sudut pandang berbeda. Di sini, saya berdoa dalam hati, mengingat orang tua, dan memohon agar perjalanan ini tak sekadar menjadi jalan-jalan biasa, tapi jadi pengingat akan makna syukur dan sabar.

Makan Siang Sederhana Tapi Nikmat

Kami makan siang di warung lokal yang menyajikan hidangan khas Sembalun. Nasi hangat, ayam kampung, sambal tomat, dan sayur bening. Sederhana sekali, tapi rasanya luar biasa.

Mungkin karena setelah perjalanan batin, hati jadi lebih lapang, dan makanan pun terasa lebih nikmat.

Kami duduk lesehan sambil bercanda ringan dengan sopir kami yang juga ikut makan. Kebersamaan dalam kesederhanaan—itu yang saya rasakan.

Singgah ke Pondok Pesantren Sembalun

Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi salah satu pondok pesantren yang sudah lama berdiri di Sembalun.

Kami tidak masuk ke area inti, hanya berbincang sebentar dengan salah satu ustadz yang kebetulan duduk di teras. Ia menyambut kami dengan ramah dan bercerita tentang para santri yang belajar di tempat itu.

Yang menarik, pesantren ini tidak hanya mengajarkan agama, tapi juga pertanian. Santri belajar menanam sayur, merawat kebun, dan hidup mandiri.

Saya merasa ini adalah bentuk nyata dari ajaran Islam yang menyatu dengan alam.

Menutup Hari dengan Shalat di Masjid Puncak Sembalun

Sebelum pulang, kami menyempatkan diri shalat di masjid yang letaknya paling tinggi di Sembalun. Dari halaman masjid, kami bisa melihat Gunung Rinjani berdiri megah.

Shalat di tempat seperti ini terasa berbeda. Mungkin karena udara yang bersih. Mungkin karena pemandangan yang luar biasa. Atau mungkin karena hati yang memang sedang lapang.

Apapun alasannya, saya merasa damai.

Mengapa Tour Religi Seperti Ini Layak Dicoba

Buat saya, ini bukan sekadar perjalanan fisik. Tapi perjalanan batin yang membuka mata dan hati.

Tour religi di Sembalun cocok untuk siapa saja yang ingin jeda dari hiruk pikuk kota, dan kembali mengingat hal-hal mendasar dalam hidup—iman, syukur, dan ketenangan.

Sopir yang ramah, tahu medan, dan paham budaya lokal bisa menjadi kunci pengalaman yang lebih dalam.